Kamis, 21 Januari 2016

Siapkah Bidan Hadapi MEA?


Pada 2015 mendatang, Indonesia bersama dengan sembilan negara ASEAN lainnya telah menyepakati perjanjian Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC). Dalam penerapan MEA 2015 ini, salah satu profesi yang akan menghadapi persaingan ASEAN adalah bidan. Siapkah bidan menghadapi MEA?
Dalam acara workshop nasional mengenai isu kebidanan dunia yang digelar Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan United Nations Population Fund (UNFPA) awal September lalu, Ketua Ikatan Bidan Indonesia, Emi Nurjasmi, mengakui kualitas bidan di Indonesia masih rendah dibandingkan beberapa negara ASEAN lain.
bidan-mea
“Dari segi jumlah kita tidak ada masalah, kita jumlah bidannya banyak, dari jumlah sekolah yang terlalu banyak juga. Tapi kita bicara kualitas yang masing-masing sekolah beragam. Concern kita ke depannya kualitas bidan bisa meningkat,” ujar Ketua Ikatan Bidan Indonesia, Emi Nurjasmi, dalam acara yang diselenggarakan di Hotel J.S Luwansa, Jakarta.
Menurut Emi, masalah kualitas bidan tidak bisa dilakukan oleh para bidan sendiri. Diperlukan kerjasama dengan sektor-sektor lain yang terkait. Terutama dari segi pendidikan.
“Kerjasama ini diperlukan supaya pendidikan yang diberikan pada bidan bisa sesuai standar. Agar bidan-bidan yang lulus juga bisa sesuai standar IBI. “Fokus kita adalah mempersiapkan kualitas bidan. Kami targetkan pada 2030 Indonesia memiliki bidan yang berkualitas semuanya,” kata Emi.
Pendapat serupa juga disampaikan perwakilan dari Maternal and Reproductive Health WHO, Rustini Floranita. Menurutnya kualitas bidan di Indonesia masih menjadi tantangan serius. “Masalah inilah yang perlu kita tindaklanjuti terus-menerus,” ujar Rustini.
Salah satu bentuk kerjasama yang telah dilakukan adalah perbaikan kualitas melalui uji kompetensi dan sertifikasi untuk bidan, yang telah disepakati bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Kesehatan. Mulai dari menata hingga memfasilitasi standar kompetensi dan pendidikan.
Meski terdapat sedikit kendala, namun sejak November 2013, IBI telah melakukan uji kompetensi bagi para calon bidan. Uji kompetensi ini menjadi syarat wajib untuk lulus menjadi bidan. Terbaru, Kemendikbud dan Kemenkes sedang merancang kebijakan nasional mengenai uji kompetensi lagi.
Tak Perlu Takut Menghadapi MEA
Tenaga kerja bidan yang berkualitas dapat terwujud dengan meningkatkan kualitas pendidikan bidan yang terdapat pada sekitar 270 institusi pendidikan kebidanan. “Bagaimana mendidik para bidan dengan kurikulum yang baik. Apabila bidan menerima pendidikan sesuai standar internasional dan berkualitas maka dapat mengurangi resiko kematian ibu dan anak,” kata Emi.
Ia mengatakan dengan kualitas yang memadai bidan Indonesia justru dapat mengisi pasar luar negeri. “Tidak perlu takut menghadapi MEA, kalau kita berkualitas maka dapat menyerap pasar luar,” kata Emi.
Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNFPA) bekerja sama dengan Konfederasi Bidan Internasional (ICM) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis “Situasi Kebidanan Dunia Tahun 2014″.
Laporan tersebut memaparkan tantangan yang dihadapi tenaga kerja kebidanan di 73 negara di benua Afrika, Asia, dan Amerika Latin, di mana layanan kebidanan sangat dibutuhkan. Negara-negara tersebut menyumbang 96 persen kematian ibu melahirkan secara global, 91 persen bayi lahir mati, dan 93 persen kematian bayi baru lahir.
“Tantangannya adalah negara-negara tersebut hanya memiliki 42 persen dari keseluruhan jumlah dokter, bidan, dan perawat di dunia,” kata Jose Ferraris selaku perwakilan UNFPA untuk Indonesia di Jakarta, Senin (8/9).
Saat ini, hanya 22 persen negara yang secara potensial memiliki cukup bidan yang kompeten untuk memenuhi kebutuhan dasar perempuan dan bayi yang baru lahir. Sementara itu, 78 persen negara juga menghadapi kekurangan dalam bidang kebidanan yang akan mengakibatkan kematian ibu dan bayi, yang sebenarnya dapat dicegah.
Kemenkes Susun Regulasi
Kementerian Kesehatan mengantisipasi derasnya arus tenaga kerja asing (TKA) yang masuk ke Indonesia saat diberlakukannya MEA 2015 dengan menyusun regulasi domestik. Regulasi domestik terkait tenaga kerja asing tersebut akan berisi tentang syarat kemampuan bahasa Indonesia yang baik, harus lolos kualifikasi dan uji kompetensi, serta diprioritaskan pada bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Saat ini persyaratan umum terkait pemanfaatan TKA medis telah diatur dalam Permenkes 67/2013 yang mengacu pada UU 39/2004 tentang Ketenagakerjaan. “Rumah sakit dapat mempekerjakan WNA, tapi alih Iptek. Tidak boleh dokter umum, harus dokter spesialis. Kriterianya harus tepat, yang tidak bisa disediakan oleh Indonesia,” kata Kepala Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan SDM Kementerian Kesehatan Tritarayati.
Tenaga medis asing itu bisa masuk ke dalam empat sektor, yakni pelayanan kesehatan, pendidikan kesehatan, panti sosial di bidang kesehatan dan penelitian di bidang kesehatan. Tenaga medis asing tersebut harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran untuk dokter atau perawat yang dikeluarkan oleh Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia.
Sementara pihak rumah sakit, harus mendapatkan izin dari kolegium kedokteran jika hendak menggunakan TKA. Apabila tenaga medis yang dibutuhkan oleh sebuah rumah sakit masih bisa ditangani oleh tenaga lokal maka permintaan itu tidak akan dipenuhi.
Tenaga kerja asing yang masuk harus diseleksi dulu oleh kolegium untuk mendapatkan STR. Kolegiumlah yang menentukan apakah sebuah rumah sakit bisa menggunakan jasa tenaga medis asing itu. (*)
Apa Yang Harus Anda Ketahui Tentang MEA
Persaingan di bursa tenaga kerja akan semakin meningkat menjelang pemberlakuan pasar bebas Asean pada akhir 2015 mendatang. Ini akan mempengaruhi banyak orang, terutama pekerja yang berkecimpung pada sektor keahlian khusus.
Berikut lima hal yang perlu Anda ketahui dan antisipasi dalam menghadapi pasar bebas Asia Tenggara yang dikenal dengan sebutan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
Apa itu Masyarakat Ekonomi Asean?
Lebih dari satu dekade lalu, para pemimpin Asean sepakat membentuk sebuah pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara pada akhir 2015 mendatang. Ini dilakukan agar daya saing Asean meningkat serta bisa menyaingi Cina dan India untuk menarik investasi asing. Penanaman modal asing di wilayah ini sangat dibutuhkan untuk meningkatkan lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan.
Pembentukan pasar tunggal yang diistilahkan dengan MEA ini nantinya memungkinkan satu negara menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara sehingga kompetisi akan semakin ketat.
Masyarakat Ekonomi Asean tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional, seperti dokter, pengacara, akuntan, dan lainnya.
Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dita Indah Sari, menjelaskan bahwa MEA mensyaratkan adanya penghapusan aturan-aturan yang sebelumnya menghalangi perekrutan tenaga kerja asing. “Pembatasan, terutama dalam sektor tenaga kerja profesional, didorong untuk dihapuskan, sehingga pada intinya, MEA akan lebih membuka peluang tenaga kerja asing untuk mengisi berbagai jabatan serta profesi di Indonesia yang tertutup atau minim tenaga asingnya.”
Dita Indah Sari, menyatakan tidak ingin “kecolongan” dan mengaku telah menyiapkan strategi dalam menghadapi pasar bebas tenaga kerja. “Oke jabatan dibuka, sektor diperluas, tetapi syarat diperketat. Jadi buka tidak asal buka, bebas tidak asal bebas,” katanya.
Sejumlah syarat yang ditentukan antara lain kewajiban berbahasa Indonesia dan sertifikasi lembaga profesi terkait di dalam negeri. “Kita tidak mau tenaga kerja lokal yang sebetulnya berkualitas dan mampu, tetapi karena ada tenaga kerja asing jadi tergeser,” pungkasnya.
Sumber : majalahbidan.com